Cerita Sex Bersambung – Dari wajahnya yang menyeringai, tampak janda muda itu tengah menghayati
orgasmenya yang mungkin sudah lama tidak pernah ia alami itu. Aku tidak
mengendurkan goyangan pinggulku, karena aku sedang berada di puncak
kenikmatanku. “Mbak.., goyang terus Mbak.., aku juga mau keluar..”. Tata
kembali menggoyang pinggulnya dengan cepat dan beberapa detik
kemudian, seluruh tubuhku menegang. “Keluarkan di dalam saja pak”, bisik
Tata, “Aku masih pakai IUD”. Begitu Tata selesai berbisik, aku melenguh.
“Mbak.., aku keluar.., aku keluarr…., aahh..”, dan…, “Crat.., crat.., craat”,

kubenamkan penisku dalam-dalam di vagina perempuan itu. Seakan
mengerti, Tata mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sehingga puncak
kenikmatan ini terasa benar hingga ke tulang sumsumku. Kami berdua
terkulai lemas sambil memejamkan mata. Pikiran kami melayang-layang
entah ke mana. Tubuhku masih menindih tubuh montok Tata. Kami berdua
masih saling berpelukan dan akupun membayangkan hari-hari penuh
kenikmatan yang akan kualami sesudah itu di Bandung. Sejak kejadian
malam itu, kesibukan di kAntonrku yang luar biasa membuatku sering pulang
larut malam. Kepenatanku selalu membuatku langsung tertidur lelap.
Kesibukan ini bahkan membuat aku jarang bisa berkomunikasi dengan Tata.
Walaupun begitu, sering juga aku mempergunakan waktu makan siangku
untuk mampir ke rumah dengan maksud untuk melakukan seks during
lunch. Sayang, di waktu tersebut ternyata Ayah Anton senantiasa dalam
keadaan bangun sehingga niatku tak pernah kesampaian.
Namun suatu hari aku cukup beruntung walaupun orang tua itu tidak tidur.
Aku mendapat apa yang kuinginkan. Ceritanya sebagai berikut: Tata diminta
oleh Ayah Anton untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Melihat peluang itu,
aku diam-diam mengikutinya dari belakang. Kamar ayah Anton memang
tidak terlihat dari tempat di mana orang tua itu biasa duduk. Sesampainya di
kamar kuraih pinggang semampai perawat itu dari belakang. Tata terkejut
dan tertawa kecil ketika sadar siapa yang memeluknya dan tanpa basa-basi
langsung menyambut ciumanku dengan bibirnya yang mungil itu sambil
dengan buas mengulum lidahku. Ia memang sudah tidak malu-malu lagi
seperti awal pertemuan kami. Janda cantik itu sudah menunjukkan
karakternya sebagai seorang pecinta sejati yang tanpa malu-malu lagi
menunjukkan kebuasan gairahnya. Kadang aku tidak mengerti, kenapa
suaminya tega meninggalkannya. Namun analisaku mengatakan, suaminya
tak mampu mengimbangi gejolak gairah Tata di atas ranjang dan untuk
menutupi rasa malu yang terus menerus terpaksa ia meninggalkan
perempuan muda itu untuk hidup bersama dengan perempuan lain yang
lebih ‘low prole’. Aku memang belum sempat menanyakan pada Tata
bagaimana ia menyalurkan kebutuhan biologisnya di saat menjanda. Aku
berpikir, bawa masturbasi adalah jalan satu-satunya. Kami berdua masih
saling berciuman dengan ganas ketika dengan sigap aku menyelipkan
tanganku ke balik baju perawatnya yang putih itu. Sungguh terkejut ketika
aku sadar bahwa ia sama sekali tidak memakai BH sehingga dengan
mudahnya kuremas buah dada kanannya yang ranum itu. “Kok ngga pakai
BH Mbak..?” Sambil menggelinjang dan mendesah, ia menjawab sambil
tersenyum nakal. “Supaya gampang diremas sama kamu..”. Benar-benar
jawaban yang menggemaskan! Kembali kukulum bibir dan lidahnya yang
menggairahkan itu sambil dengan cepat kubuka kancing bajunya yang
pertama, kedua, dan ketiga. Lalu tanpa membuang waktu kutundukkan

kepalaku, dengan tangan kananku kukeluarkan buah dada kanannya dan
kuhisap sedemikian rupa sehingga hampir setengahnya masuk ke dalam
mulutku. Tata mulai mengerang kegelian, “Ouhh.., geli Mas.., geliii.., ahh..”.
Sejak kejadian malam itu, ia memang membiasakan dirinya untuk
memanggilku Mas. Sambil menggelinjang dan merintih, tangan kanan Tata
mulai mengelus-elus bagian depan celana kAntonrku. Penisku yang terletak
tepat di baliknya terasa semakin menegang dan menegang.
Jari-jari lentik perempuan itu berusaha untuk mencari letak kepala penisku
untuk kemudian digosok-gosoknya dari luar celana. Sensasi itu membuat
nafasku semakin memburu seperti layaknya nafas kuda yang tengah berlari
kencang. Seakan tak mau kalah darinya, tangan kiriku berusaha menyingkap
rok janda muda itu dan dengan sigap kugosokkan jari-jemariku di celana
dalamnya. Tepat diatas vaginanya, celana dalam Tata terasa sudah basah.
Sungguh hebat! Hanya dalam beberapa menit saja, ia sudah sedemikian
terangsangnya sehingga vaginanya sudah siap untuk dimasuki oleh penisku.
Tanpa membuang waktu kuturunkan celana dalam tipis yang kali ini
berwarna hitam, kudorong tubuh montok perawat itu ke dinding, lalu
kuangkat paha kanannya sehingga dengkulnya menempel di pinggangku.
Dengan sigap pula kubuka ritsluiting celanaku dan kukeluarkan penisku yang
sudah sangat tegang dan besar itu. Tata sudah nampak pasrah. Ia hanya
bersender di dinding sambil memejamkan matanya dan memeluk bahuku.
“Tataii.., mana minyak tawonnya.., kok lama betuul…”. Suara orang tua itu
terdengar dengan keras. Sungguh menjengkelkan. Tata sempat terkejut dan
nampak panik ketika kemudian aku berbisik, “Tenang Mbak.., jawab aja.., kita
selesaikan dulu ini.., kamu mau kan?” Ia mengangguk seraya tersenyum
manis. “Sebentar Pak..”, teriaknya. “Minyak tawonnya keselip entah ke
mana.., ini lagi dicari kok…”. Ia tertawa cekikikan, geli mendengar jawaban
spontannya sendiri. Namun tawanya itu langsung berubah menjadi jerikan
erotis kecil ketika kupukul-pukulkan kepala penisku ke selangkangannya.
Perlahan-lahan kutempelkan kepala penisku itu di pintu vaginanya.
Sambi kuputar-putar kecil kudorong pinggulku perlahan-lahan. Tata
ternganga sambil terengah-engah, “aahh.., aahh.., ouhh.., Mas.., besar
sekali.., pelan-pelan Mas..pelan-pelanhh..”, dan, “aa…”. Tata menjerit kecil
ketika kumasukkan seluruh penisku ke dalam vaginanya yang becek dan
terasa sangat sempit dalam posisi berdiri ini. Aku menyodokkan penisku
maju mundur dengan gerakan yang percepatannya meningkat dari waktu ke
waktu. Tubuh Tata terguncang-guncang, buah dadanya bergayut ke kiri dan
kanan dan jeritannya semakin menjadi-jadi. Aku sudah tak peduli kalau ayah
Antonn sampai mendengarkan jeritan perempuan itu. Nafsuku sudah naik ke
kepala. Janda muda ini memang memiliki daya pikat seks yang luar biasa.
Walaupun ia hanya seorang perawat, namun kemulusan dan kemontokan
badannya sungguh setara dengan perempuan kota jaman sekarang. Sangat
terawat dan nikmat sekali bila digesek-gesekkankan di kulit kita. Gerakan
pinggulku semakin cepat dan semakin cepat. Mulutku tak puas-puasnya
menciumi dan menghisap puting buah dadanya yang meruncing panjang dan
keras itu. Buah dadanya yang kenyal itu hampir seluruhnya dibasahi oleh air
liurku. Aku memang sedang nafsu berat. Aku merasakan bahwa sebentar lagi
aku akan orgasme dan bersamaan dengan itu juga tubuh Tata menegang.
Kupercepat gerakan pinggulku dan tiba-tiba, “aahh.., Mas.., Masss…, aku
keluarrr.., aahh”, Jeritnya. Saat itu juga kusodokkan penisku ke dalam vagina
janda muda itu sekeras-kerasnya dan, “Craat.., craatt.., craat”. “Ahh…,
Mbaak”, erangku sambil meringis menikmati puncak orgasme kami yang
waktunya jatuh bersamaan itu.
Kami berpelukan sesaat dan Tata berbisik dengan suara serak. “Mas.., aku
ngga pernah dipuasin laki-laki seperti kamu muasin saya.., kamu hebat..”.
Aku tersenyum simpul. “Mbak., aku masih punya 1001 teknik yang bisa
membuat kamu melayang ke surga ke-7.., ngga bosan kan kalo lain waktu
aku praktekkan sama kamu?”. Perlahan Tata menurunkan paha kanannya
dan mencabut penisku dari vaginanya. “Bosan? Aku gila apa.., yang beginian

ngga akan membuatku bosan.., kalau bisa tiap hari aku mau Mas..”. Benar-
benar luar biasa libido perempuan ini. Beruntung aku mempunyai libido
yang juga luar biasa besarnya. Sebagai partner seks, kami benar-benar
seimbang. Setelah kejadian siang itu, aku dan Tata seperti pengantin baru
saja. Tak ada waktu luang yang tak terlewatkan tanpa nafsu dan birahi.
Walaupun demikian, aku tekankan pada Tata, bahwa hubungan antara aku
dan dia, hanyalah sebatas hubungan untuk memuaskan nafsu birahi saja.
Aku dan dia punya hak untuk berhubungan dengan orang lain. Tata si janda
muda yang sudah merasakan kenikmatan seks bebas itu tentu saja
menyetujuinya. Suatu hari, Tata masuk ke dalam kamarku dan ia berkata,
“Mas, aku akan mengambil cuti selama 1 bulan. Aku harus mengurusi
masalah tanah warisan di kampungku..”. “Lha.., kalau Mbak pulang,
siapa yang akan mengurusi Bapak?”, tanyaku sambil membayangkan betapa
kosongnya hari-hariku selama sebulan ke depan. “Mas Anton bilang, akan
ada adik Bapak yang akan menggantikan aku selama 1 bulan.., namanya
Mbak Ine.., dia ngga kimpoi.., umurnya sudah hampir 40 tahun.., orangnya
baik kok.., cerewet.., tapi ramah..”. Yah apa boleh buat, aku terpaksa
kehilangan seorang teman berhubungan seks yang sangat menggairahkan.
Hitung-hitung cuti 1 bulan.., atau kalau berpikir positif.., its time to look for a
new partner!!! Hari ini adalah hari ke lima setelah kepergian Tata. Mbak Ine,
pengganti sementara Tata, ternyata adalah adik ipar ayah Anton. Jadi, adik
istri si bapak tua itu. Mbak Ine adalah seorang perempuan Sunda yang
ramah. Wajahnya lumayan cantik, kulitnya berwarna hitam manis, badannya

agak pendek dan bertubuh montok. Ukuran buah dadanya besar. Jauh lebih
besar dari Tata dan senantiasa berdandan agak menor. Wanita yang
berumur hampir 40 tahun itu mengaku belum pernah menikah karena
merasa bahwa tak ada laki-laki yang bisa cocok dengan sifatnya yang
avonturir. Saat ini ia bekerja secara freelance di sebuah stasiun televisi
sebagai penulis naskah. Kemampuan bergaulku dan keramahannya
membuat kami cepat sekali akrab. Lagi-lagi, kamarku itu kini menjadi markas
curhatnya Mbak Ine. “Panggil saya teh Ine aja deh..”, katanya suatu kali
dengan logat Bandungnya yang kental. “Kalau gitu panggil saya Rafi aja ya
teh.., ngga usah pake pak pak-an segala..”, balasku sambil tertawa. Baru 5
hari kami bergaul, namun sepertinya kami sudah lama saling mengenal.
Kami seperti dua orang yang kasmaran, saling memperhatikan dan saling
bersimpati. Persis seperti cinta monyet ketika kita remaja. Saat itu seperti
biasa, kami sedang ngobrol santai dari hati ke hati sambil duduk di atas
ranjangku. Aku memakai baju kaos dan celana pendek yang ketat sehingga
tanpa kusadari tekstur penis dan testisku tercetak dengan jelas. Bila
kuperhatikan, beberapa kali tampak teh Ine mencuri-curi melirik
selangkanganku yang dengan mudah dilihatnya karena aku duduk bersila.
Aku sengaja membiarkan keadaan itu berlangsung. Malah kadang-kadang
dengan sengaja aku meluruskan kedua kakiku dengan posisi agak
mengangkang sehingga cetakan penisku makin nyata saja di celanaku.
Sesekali, ditengah obrolan santai itu, tampak teh Ine melirik selangkanganku
yang diikuti dengan nafasnya yang tertahan.
Kenapa aku melakukan hal ini? Karena libidoku yang luar biasa, aku jadi
tertantang untuk bisa meniduri teh Ine yang aku yakini sudah tak perawan
lagi karena sifatnya yang avonturir itu. Dan lagi, dari sifatnya yang ramah,
ceria, cerewet dan petualang itu, aku yakin di balik tubuh montok
perempuan setengah baya tersimpan potensi libido yang tak kalah besar
dengan Tata. Juga, gayanya dalam bergaul yang mudah bersentuhan dan
saling memegang lengan sering membuat darahku berdesir. Apalagi kalau
aku sedang dalam keadaan libido tinggi. Saat ini, teh Ine mengenakan daster
berwarna putih tipis sehingga tampak kontras dengan warna kulitnya yang
hitam manis itu. Belahan buah dadanya yang besar itu menyembul di balik
lingkaran leher yang berpotongan rendah di bagian dada. Dasternya sendiri
berpola terusan hingga sebatas lutut sehingga ketika duduk, pahanya yang
montok itu terlihat dengan jelas. Aku selalu berusaha untuk bisa mengintip
sesuatu yang terletak di antara kedua paha teh Ine. Namun karena posisi
duduknya yang selalu sopan, aku tak dapat melihat apa-apa. Bukan main!
Ternyata seorang wanita berusia 40-an masih mempunyai daya tarik sexual
yang tinggi. Terus terang, baru kali ini aku berani berfantasi mengenai
hubungan seks dengan teh Ine. Sementara ia bercerita tentang masa
mudanya, pikiranku malah melayang dan membayangkan tubuh teh Ine
sedang duduk di hadapanku tanpa selembar benangpun. Alangkah
menggairahkannya. Aku seperti bisa melihat dengan jelas seluruh lekuk
tubuhnya yang mulus tanpa cacat. Tanpa sadar, penisku menegang dan
cairan madzi di ujungnya pun mulai keluar.
Celanaku tampak basah di ujung penisku, dan cetakan penis serta testisku
semakin jelas saja tercetak di selangkangan celanaku. Membesarnya penisku
ternyata tak lepas dari perhatian teh Ine. Tampak jelas terlihat matanya
terbelalak melihat ukuran penisku yang membesar dan tercetak jelas di
celana pendekku. Obrolan kami mendadak terhenti karena beberapa saat
teh Ine masih terpaku pada selangkanganku. “Kunaon teh..?”, tanyaku
memancing. “Eh.., enteu.., kamu teh mikirin apa sih…?”, katanya sambil
tersenyum simpul. “Mikirin teh Ine teh.., entah kenapa barusan saya

membayangkan teh Ine nggak pakai apa-apa.., aduh indahnya teh..”, tiba-tiba
saja jawaban itu meluncur dari mulutku. Aku sendiri terkejut dengan
jawabanku yang sangat terus terang itu dan sempat membuatku terpaku
memandang wajah teh Ine. Wajah teh Ine tampak memerah mendengar
jawabanku itu. Napasnya mendadak memburu. Tiba-tiba teh Ine bangkit dari
duduknya dan berjalan menuju pintu. Ia menutup pintu kamarku dan
menguncinya. Leherku tercekat, dan kurasakan jantungku berdegup semakin
kencang. Dengan tersenyum dan sorot mata nakal ia menghampiriku dan
duduk tepat di hadapan selangkanganku. Aku memang sedang dalam posisi
selonjor dengan kedua kaki mengangkang. “Fi, kamu pingin sama teteh..?
Hmm?”, Desahnya seraya meraba penis tegangku dari luar celana. Aku
menelan ludah sambil mengangguk perlahan dan tersenyum. Entah
mengapa, aku jadi gugup sekali melihat wajah teh Ine yang semakin
mendekat ke wajahku. Tanpa sadar aku menyandarkan punggungku ke
tembok di ujung ranjang dan teh Ine menggeser duduknya mendekatiku
sambil tetap menekan dan membelai selangkanganku. Nafas teh Ine yang
semakin cepat terasa benar semakin menerpa hidung dan bibirku. Rasa
nikmat dari belaian jemari teh Ine di selangkanganku semakin terasa keujung
syaraf-syarafku. Napasku mulai memburu dan tanpa sadar mulutku mulai

mengeluarkan suara erangan-erangan. Dengan lembut teh Ine
menempelkan bibirnya di atas bibirku. Ia memulainya dengan mengecup
ringan, menggigit bibir bawahku, dan tiba-tiba.., lidahnya memasuki mulutku
dan berputar-putar di dalamnya dengan cepat. Langit-langit mulutku serasa
geli disapu oleh lidah panjang milik perempuan setengah baya yang sangat
menggairahkan itu. Aku mulai membalas ciuman, gigitan, dan kuluman teh
Ine.
Sambil berciuman, tangan kananku kuletakkan di buah dada kiri teh Ine. Uh..,
alangkah besarnya.., walaupun masih ditutupi oleh daster, keempukan dan
kekenyalannya sudah sangat terasa di telapak tanganku. Dengan cepat
kuremas-remas buah dada teh Ine itu, “Emph.., emph..”, rintihnya sambil
terus mengulum lidahku dan menggosok-gosok selangkanganku. Mendadak
teh Ine menghentikan ciumannya. Ia menahan tanganku yang tengah
meremas buah dadanya dan berkata, “Fi, sekarang kamu diam dulu yah..,
biar teteh yang duluan..”. Tiba-tiba dengan cepat teh Ine menarik celana
pendekku sekalian dengan celana dalamku. Saking cepatnya, penisku yang
menegang melejit keluar. Sejenak teh Ine tertegun menatap penisku yang
berdiri tegak laksana tugu monas itu. “Gusti Rafi .., ageung pisan..”, bisiknya
lirih. Dengan cepat teh Ine menundukkan kepalanya, dan seketika tubuhku
terasa dialiri oleh aliran listrik yang mengalir cepat ketika mulut teh Ine
hampir menelan seluruh penisku. Terasa ujung penisku itu menyentuh
langit-langit belakang mulut teh Ine. Dengan sigap teh Ine memegang
penisku sementara lidahnya memelintir bagian bawahnya. Kepala teh Ine
naik turun dengan cepat mengiringi pegangan tangannya dan puntiran
lidahnya. Aku benar-benar merasa melayang di udara ketika teh Ine
memperkuat hisapannya. Aku melirik ke arah kaca riasku, dan di sana
tampak diriku terduduk mengangkang sementara teh Ine dengan dasternya
yang masih saja rapi merunduk di selangkanganku dan kepalanya bergerak
naik turun. Suara isapan, jilatan dan kecupan bibir perempuan montok itu
terdengar dengan jelas. Kenikmatan ini semakin menjadi-jadi ketika
kurasakan teh Ine mulai meremas-remas kedua bola testisku secara
bergantian. Perutku serasa mulas dan urat-urat di penisku serasa hendak
putus karena tegangnya. Teh Ine tampak semakin buas menghisapi penisku
seperti seseorang yang kehausan di padang pasir menemukan air yang
segar. Jari-jemarinyapun semakin liar mempermainkan kedua testisku.
“Slurrp.., Cuph.., Mphh..”. Suara kecupan-kecupan di penisku semakin keras
saja. Nafsuku sudah naik ke kepala. Aku berontak untuk berusaha meremas
kedua buah dada montok dan besar milik wanita lajang berusia setengah
baya itu, namun tangan teh Ine dengan kuat menghalangi tubuhku dan
iapun semakin gila menghisapi dan menjilati penisku. Aku mulai
bergelinjang-gelinjang tak karuan.
Bersambung .. Tata dan Ine Kekasih Gelapku – Part 3
***
Baca Juga :
- Cerita Dewasa Bergambar : Pengalaman Bersama Sri Gadis Desa
- Cerita Ngentot Bersambung : Kisah Keluarga Agak Laen – Part 1
- Cerita Panas : Menikmati Tubuh Montok Buk Melisa
- Cerita Sex 2024 : Janda Muda Beranak Satu
- Cerita Ngewe : Mesum Mesra di Tengah Hutan
- Cerita Dewasa Bibi : Berhubungan Sex dengan Calon Kakak Ipar
- Cerita Sex Bibi : Dokter Cintaku yang Merangsang
- Cerita Ngentot : Bermula dari Wawancara Kerja
- Cerita Sex Bersambung : Aku Pemuas Arisan Tante Girang Kesepian
- Cerita Sex Dewasa : Sex Dengan Mama Temanku Hot